5 January 2009

Berani Berbeda

Alasan hidup sebuah media adalah jika ada konsumen yang bukan sekedar mengkonsumsi isi/content dari sang media tapi juga menikmatinya. Jika sebuah media, apapun bentuknya, tak memiliki konsumen maka tak ada alasan apapun untuk mempertahankan kehidupannya. Si media tak akan menghambur-hamburkan sumberdaya secara percuma.

Cara termudah untuk menarik konsumen adalah dengan membuat dan atau menyajikan content yang bagus, menarik serta relevan dengan konsumen. Pemilik Trans TV Pak Chairul Tanjung satu kali pernah menyatakan bahwa program TV yang bagus adalah yang ditonton orang dengan kata lain adalah program yang rating-nya tinggi, kalau kita memakai ukuran rating sebagai standar mengukur jumlah penonton. Kita bisa berdebat panjang soal rating, tapi ada elemen kebenaran yang saya sepakat dengan beliau, yakni kata penonton.

Buat saya kata “penonton” itu adalah sebuah kata sakti yang harus diperjuangkan sedemikian rupa agar mereka “mendekat” ke media kita. Saya percaya tanpa penonton, maka kita bukan apa-apa. Nah pertanyaan berikutnya penonton itu maunya apa? Kalau lebih kongkret lagi mau program macam apa?

Saya yakin sebagian besar kita sebenarnya berada dalam situasi antara tahu dan tidak tahu dalam menebak kemauan penonton. Kemarin senang tahyul sekarang kriminal dan mungkin besok percintaan remaja. Lantas apakah kita mau ikut arus besar jenis program yang populer? Jawabannya sih terserah anda. Tapi kalau pilihannya adalah ikut arus maka besar peluang kita akan kalah dan kalau pun berhasil tak akan lebih dari pencapaian yang luar biasa.

Bagaimana kalau kita mau keluar dari jeratan arus besar genre program yang sedang populer? Jawabannya mudah tapi pelaksanaannya susah, “be creative”. Ini jawaban klise yang sayangnya terbukti benar.

Kalau saya pribadi punya prinsip better is not enough, you have to be different. Kata different itu kalau diejawantahkan adalah menjadi kreatif. Ada dua tantangan besar kalau kita bicara soal “kreatif”, Pertama adalah bagaimana menjadi kreatif dan kedua berapa sebenarnya biaya untuk membuat sesuatu yang kreatif.

Menjadi kreatif bukan sekedar karena terpaksa lantas kita bisa membuat sesuatu yang berbeda dengan sumberdaya yang terbatas, tapi lebih bagaimana membangun sikap mental kreatif. Keberanian untuk berbeda adalah salah satu prasyarat bersikap kreatif. Ketika kita terjebak pada sikap mental me too atau ikut-ikutan maka jangan harap akan tumbuh sikap mental yang kreatif.

Di sini kita akan mulai dihadapkan pada tantangan apakah sang konsumen/penonton mau berpaling kepada kita saat kita menjadi berbeda dengan yang lain.Contoh-contoh sukses teman-teman JTV dan Bali TV bisa kita jadikan pelajaran bagaimana berbeda akhirnya menuai sukses.

Selain soal “berbeda” maka kualitas juga jadi prasyarat. Kualitas bisa dari sisi teknis produksi dan pasca produksi atau juga saat presentasi di layar. Dengan kualitas yang baik maka setengah persoalan sudah terjawab karena konsumen akan sepenuhnya menilai program kita semata-mata karena mereka suka atau tidak suka dari sisi content.

Lantas berapa biaya untuk “berbeda” tadi. Rentang jawabannya bisa sangat ekstrem, dari ratusan ribu rupiah sampai miliaran rupiah. Saya mau berbagi dengan program talkshow “Berbincang Jalan”, praktis biayanya hanya sejuta rupiah, yakni honor membayar narasumber. Program ini tahun lalu masuk nominasi The Best Talkshow pada Asian Television Award tahun lalu.

Namun ada juga program kami yang biayanya per episode sama dengan membuat sinetron setengah jam. Program ini berjudul Komando 6 yang berjenis reality show sekaligus dokumenter. Kami memilih 30 orang biasa yang kemudian dididik di Pusat Pendidikan Kopassus di Batujajar sampai ke Nusakambangan. Kami akan menayangkan program ini Oktober nanti.

Dua contoh ekstrem di atas sebenarnya hanya untuk memperlihatkan bahwa membuat program kreatif tak tergantung biaya, mahal monggo murah pun silakan. Semuanya kembali kepada sikap mental kita yang tak ingin sekedar menjadi pengekor tapi lebih memilih untuk menjadi pelopor.



4 comments:

Anonymous said...

Kita dalam kehidupan apa saja.. harus berani beda (eksklusif) tentunya beda disini adalah beda yang belum dipunyai orang lain. Saya sering sedih melihat cara kerja wartawan (tidak semua lho) dalam wawancara ke narasumber sering grobyokan (ramai-ramai/bareng-baeng) biasanya di Konperensi pers kalau ini wajar khan diundang. Media yang bagus semestinya mempunyai SDM yang handal artinya kalau bisa atau sebisa mungkin menyeret nara sumber setelah acara selesai walaupun katakanlah mempunyai waktu 10 menit yang diberikan nara sumber sehingga dengan waktu 10 menit itu wartawan ditantang untuk menggali pertannyaan yang eksklusif dan mendalam dengan demikian si wartawan tersebut mendapat berita yang eksklusif. Nah bila media tersebut sering-sering membuat berita eksklusif dan lebih bagus lagi sering tampil live report dapat diaharapkan rating dapat melesat naik. Beda itu bagus Seragam itu cenderung kurang baik dan membosankan. Suksesnya media massa baik cetak mauun elektronik ada di tangan sdm nya khususnya Wartawan. Selamat Hari Pers Nasional 9 Februari 2009 Bravo Pers Indonesia.

http://anangprasongko2008.blogspot.com

Anonymous said...

Dulu, ketika pertama kali program bincang jalan tayang di ASTRO Awani, saya sempat membincangkannya dengan istri, istri saya berpendapat "format programnya baru, berbeda dengan yang lain, saya suka". Bahkan kami menilai banyak hal yang pada awalnya di Indonesia hanya muncul di ASTRO awani sekarang sudah ada (kalo nggak mau dibilang diikuti) oleh stasiun TV lain bahkan terrestrial, semacam running text berita yang berbeda dengan topik berita yang dibawakan oleh presenter (CNN mungkin sudah menggunakannya lebih dulu). Sy percaya inilah realisasi dari salah satu prinsip marketing yang diterapkan oleh mas riza primadi...diferensiasi.

Salam,

Paras Sujiwo

Anonymous said...

i got it. creative n different :)

syaiful HALIM said...

Mas Riza, apa kabar? Lama juga kehilangan kontak. Ah, ini juga lagi ada maunya. Moga-moga mas Riza masih ingat dengan saya. Begini mas, saya sedang menyusun buku Jurnalistik Televisi yang digali dari pengalaman selama di lapangan (kebetulan banyak pengalaman didapat ketika mas Riza jadi boss saya, hehehe). So, saya berharap sekali mas Riza bikin semacam kata pengantar. Judul bukunya "Wartawan Ecek-Ecek". Kalau mas Riza bersedia (saya harapkan sekali), saya akan mengirimkan beberapa data terkait. Jadi saya berharap alamat emailnya. Oh ya, di URL yang saya lampirkan ini merupakan tulisan saya soal mas Riza waktu jadi achor dulu (ya waktu di IWI). Saya tunggu kabarnya, mas. Terima kasih.(syaifulhalim@yahoo.com)